A Life Journal.

Tuesday 16 July 2019

Dua Garis Biru: Cerminan tabunya sex education di Indonesia


Jarang-jarang loh saya excited mau nonton film Indonesia di bioskop. Tapi kali ini dari waktu premier filmnya saya udah langsung merencanakan ngosongin jadwal buat nonton Dua Garis Biru. Film ini menurut saya pribadi sangat relate dengan kehidupan kita di Indonesia terutama dengan perihal minimnya sex education di Indonesia karena pembicaraan mengenai sex selalu dianggap hal yang tabu *jangan mikir jorok ya karena bukan joroknya yang saya maksud*. Saya nggak ngerti sih kenapa sampe ada heboh-heboh menolak film ini dan menuduh bahwa ini film mengajarkan zina. Padahal kalau -emang beneran- ditonton sampe habis, film ini malah menunjukkan efek buruk dari melakukan perbuatan tersebut. BIASAKAN YA JANGAN NERIMA INFORMASI SETENGAH-SETENGAH! *emosi*

(image source: tirto.id)

Film Dua Garis Biru ini menceritakan tentang sepasang kekasih SMA, Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Zara JKT48). Digambarkan dalam film ini bahwa si Bima dan Dara ini dari dua dunia berbeda *maap*. Terlihat di awal film ketika Dara berdiri di kelas karena mendapat nilai 100, sedangkan Bima berdiri karena dapat nilai 40, nilai terendah di kelas. Keadaan ekonomi mereka pun berbeda, Dara adalah anak tajir yang punya kolam renang di rumahnya dan berencana kuliah di Korea, sedangkan Bima rumahnya di gang yang padat penduduk. Sesuai dengan judulnya, Dara kemudian hamil dan dunia mereka pun berubah. Dara harus mendundurkan diri dari sekolahnya sedangkan Bima harus bekerja.

(image source: montasefilm.com)

Film ini berfokus pada imbas dari hamil di usia muda dan di luar nikah. Nggak ada adegan dewasa di film ini karena ini memang film untuk edukasi ya. Disini diceritakan mengenai resiko-resiko yang mungkin terjadi karena Dara hamil di usia yang sangat muda, disaat tubuh Dara belum siap. Sosok Bima pun digambarkan cukup baik untuk menggambarkan betapa tabunya berbicara mengenai topik pendidikan seksual di keluarga sehingga pada akhirnya terjadi hal yang tidak diinginkan.

Salah satu hal menarik menurut saya di film ini adalah perbedaan pola pikir dan cara menghadapi masalah dari keluarga Dara dan keluarga Bima. Keluarga Dara yang lebih kaya dan modern digambarkan cenderung ingin move on dan kembali menata masa depan. Dapat dilihat dengan bagaimana ibunya Dara ingin mengambil opsi anak mereka untuk diadopsi oleh Om dan Tantenya Dara yang sudah lama belum mendapat keturunan sehingga Dara dan Bima dapat kembali berkuliah dan menata masa depan. Sebaliknya keluarga Bima yang digambarkan dari keluarga yang sederhana dan religius menolak hal tersebut dan tidak menginginkan mereka bercerai.

Selain dari sisi cerita, para pemain di film ini juga perlu diapresiasi karena bisa membuat cerita jadi lebih hidup dan kita sebagai penonton ikut terhanyut ke dalam alur cerita. Pemeran favorit saya adalah Zara, yang mampu memperlihatkan bagaimana Dara berusaha tetap kuat atas semua kejadian ini dan masih kuatnya tekat Dara untuk tetap mengejar masa depan dan tidak berlarut-larut dalam keadaan. Tokoh Bima pun diperankan dengan baik sehingga kita bisa melihat bahwa sosok Bima sebetulnya masih lugu dan belum dewasa.

All in all, ini film bagus banget untuk menggambarkan betapa unfaedahnya hamil diluar nikah dan sangat banyak konsekuensi yang mengikutinya. Konsekuensi atas perbuatan itu bukan hanya berdampak pada diri sendiri, tapi juga pada keluarga dan orang sekitar. Mungkin buat saya minusnya cuma akdang letak becandaanya agak kurang tepat, sepertu suasana lagi serius tiba-tiba ada ice breaking. Mungkin maksudnya biar nggak tegang tapi kalo untuk saya malah agak mengganggu.

For me personally, saya jadi tersadar bahwa hal seperti ini perlu dikomunikasikan kepada anak saya kelak dan jangan malah dibuat hal yang tabu untuk didiskusikan. 

Thanks mbak Gina for making this movie, hats off for you!

Rating: ★/
Kindly share your thoughts !
Post a Comment

Custom Post Signature

Custom Post  Signature